Salah satu informasi penting dalam rangka upaya penanggulangan bencana adalah informasi tentang bahaya (hazard).
Informasi bahaya berisi tentang perkiraan lokasi, waktu dan intensitas.
Ketiga informasi tersebut penting untuk menjawab pertanyaan di mana,
kapan dan seberapa besar/intensitas sebuah bencana alam akan terjadi.
Jawaban dari pertanyaan tersebut merupakan instrumen untuk
meminimalisasi korban atau risiko apabila sebuah bencana benar-benar
terjadi.
Informasi bahaya gunung api biasanya
juga berisi tentang perkiraan lokasi, waktu dan intensitas. Lokasi
bahaya gunung api sangat mudah ditentukan karena memang bentuk gunung
api yang spesifik. Hal ini berbeda dengan gempa bumi yang notabene cukup
sulit untuk memperkirakan lokasinya secara pasti. Perkiraan waktu
secara pasti, jam, menit, detik akan terjadinya suatu bencana, sulit
sekali dilakukan. Sampai saat ini belum ada metode atau teknologi yang
mampu menentukan waktu bencana secara tepat.
Perkiraan waktu erupsi biasanya
diperoleh dengan cara menerjemahkan perilaku gunung api yang muncul
sebelum erupsi. Perilaku tersebut dapat berupa penampakan visual gunung
api seperti semburan debu vulkanis, peningkatan jumlah kegempaan dan
amplitudonya, suhu di sekitar puncak misalnya suhu air (jika ada),
terjadinya deformasi, dsb. Perkiraan intensitas erupsi gunung api
ditentukan berdasarkan perilaku gunung api dan sejarah erupsi gunung api
tersebut. Perkiraan intensitas erupsi merupakan data dasar untuk
menentukan radius aman kawasan bencana dan evakuasi. Erupsi Gunung api
Kelud, Merapi, dan Sinabung menyadarkan kita semua akan pentingnya
informasi bahaya gunung api. Kejadian tersebut tidak hanya menyisakan
kisah sedih namun juga memberikan pelajaran akan kisah sukses dalam
pengurangan risiko bencana serta pekerjaan rumah yang masih harus
(selalu) dilakukan.
Salah satu kisah sukses perkiraan bahaya
gunung api adalah perkiraan erupsi Gunung Kelud beberapa hari yang
lalu. Status awas diumumkan 2 jam menjelang Gunung Kelud meletus. PVMBG
sukses menerjemahkan perilaku Gunung Kelud yang kemudian
dimanifestasikan ke dalam peningkatan status menjadi awas.
Keberhasilan dalam menerjemahkan
perilaku gunung api tentunya memerlukan informasi karakteristik gunung
api, data sejarah erupsi dan ketersediaan instrumen yang digunakan untuk
mengukur perilaku gunung api. Sebagian besar gunung api bertipe A di
Indonesia, seperti Gunung Kelud, sudah memiliki alat pemantau tersebut.
Meskipun demikian, masih terdapat 7 korban jiwa (data BNPB 18 Februari
2014) akibat erupsi Gunung Kelud 2014.
Ternyata di balik kesuksesan perkiraan
bahaya, masih ada aspek lain yang menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah untuk menjadikan zero korban saat terjadi bencana. Hal
yang perlu dicermati adalah bahwa keempat korban tersebut berumur lebih
dari 60 tahun. Sehingga salah satu pekerjaan rumah tersebut adalah
memprioritaskan bantuan/evakuasi kepada elemen berisiko yang memiliki
kerentanan (vulnerability) tinggi seperti orang tua, anak-anak, penyandang cacat dsb..
Gunungapi Merapi memiliki kisah sendiri
saat terjadi erupsi pada tahun 2010. Tercatat setidaknya 353 orang
meninggal akibat erupsi salah satu gunung api teraktif di Indonesia
tersebut. Padahal, erupsi Merapi 2010 juga merupakan salah satu cerita
sukses perkiraan bahaya gunung api. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) meningkatkan status menjadi awas pada tanggal 25
Oktober 2010. Sehari kemudian, erupsi terjadi pada tanggal 26 Oktober
2010. Setidaknya satu hari merupakan waktu yang cukup untuk melakukan
evakuasi. Hanya saja pada saat itu, ada beberapa orang yang memang tidak
mau dievakuasi karena yakin bahwa Gunung Merapi akan baik-baik saja.
Contoh tersebut menyadarkan akan pentingnya pengetahuan tentang
kebencanaan sejak dini dan pentingnya mensosialisasikan pengetahuan
bencana kepada masyarakat. Sementara waktu menyingkir dan biarkan gunung
api ‘menuntaskan keinginannya’.
Lain Kelud, lain Merapi, lain pula
Sinabung. Sinabung memiliki cerita sendiri. Tidak seperti Kelud dan
Merapi yang diklasifikasikan sebagai tipe A, Sinabung diklasifikasikan
ke dalam gunung api tipe B (sebelum erupsi tahun 2010). Gunung api tipe A
adalah gunung api yang tercatat sekurang-kurangnya telah mengalami
erupsi setelah tahun 1600 sedangkan tipe B adalah gunung api yang tidak
tercatat erupsi setelah tahun 1600 namun masih memperlihatkan kegiatan
vulkanik. Implikasinya adalah gunung api tipe A biasanya dilengkapi
stasiun pemantau dan instrumen pengukuran aktifitas gunungapi yang
memadai, sebaliknya karena keterbatasan sumberdaya, gunungapi tipe B
biasanya sangat minim akan fasilitas pemantauan. Selain itu, karena
catatan erupsi yang sedikit, sulit untuk memperkirakan karakteristik dan
perilaku gunungapi tipe B. Hal ini berlaku untuk Gunung Sinabung.
Penanganan Gunung Sinabung terkesan
lambat dan terkesan kurang berhasil. Bahkan pemerintah mengakui salah
dalam memperkirakan erupsi Gunung Sinabung 2010 (Kompas, 2010). Setelah
erupsi 2010, tipe Gunung Sinabung diubah menjadi tipe A yang kemudian
pada September tahun 2013 hingga awal 2014 Gunung Sinabung beraktifitas
kembali. Akibat minimnya data sejarah erupsi dan anomali perilaku
Sinabung, perkiraan bahaya erupsi Gunungapi Sinabung 2013-2014 juga
tidak berjalan mulus. Kadang-kadang ilmu pengetahuan juga memiliki batas
dalam memahami keinginan alam. Salah satu yang membuat batas itu adalah
data. Hampir seluruh perkiraan bahaya (untuk semua bencana) memerlukan
data historis untuk memperkirakann frekuensi dan intensitasnya di masa
mendatang. Semakin minim data yang digunakan maka validitas dan
reliabilitas perhitungan bahaya semakin rendah. Data inventaris bencana
adalah pekerjaan rumah selanjutnya.
Ketiga kasus tersebut mengisyaratkan
kompleksitas masalah bencana sekaligus memberikan pengalaman berharga
terkait dengan penanganan kasus bencana di Indonesia. Masyarakat harus
paham bahwa tanah tempat tinggal mereka merupakan tanah yang mewajibkan
setiap manusia yang tinggal di atasnya bisa mengerti, memahami dan
bersahabat dengan bencana. Sudah selayaknya kita semua terus belajar dan
belajar dari pengalaman bencana yang melanda negeri dalam satu dekade
ini.
Semoga dengan meningkatnya frekuensi bencana akhir-akhir ini dapat menjadikan bangsa ini lebih tangguh dalam menghadapinya.
REFERENSI :
http://berita-iptek.com/antara-kelud-merapi-dan-sinabung-sebuah-pelajaran-berharga/
REFERENSI :
http://berita-iptek.com/antara-kelud-merapi-dan-sinabung-sebuah-pelajaran-berharga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar