Minggu, 07 Desember 2014

IPTEK berperan dalam meminimalisir resiko dari bencana alam (Gunung berapi)


Salah satu informasi penting dalam rangka upaya penanggulangan bencana adalah informasi tentang bahaya (hazard). Informasi bahaya berisi tentang perkiraan lokasi, waktu dan intensitas. Ketiga informasi tersebut penting untuk menjawab pertanyaan di mana, kapan dan seberapa besar/intensitas sebuah bencana alam akan terjadi. Jawaban dari pertanyaan tersebut merupakan instrumen untuk meminimalisasi korban atau risiko apabila sebuah bencana benar-benar terjadi.
Informasi bahaya gunung api biasanya juga berisi tentang perkiraan lokasi, waktu dan intensitas. Lokasi bahaya gunung api sangat mudah ditentukan karena memang bentuk gunung api yang spesifik. Hal ini berbeda dengan gempa bumi yang notabene cukup sulit untuk memperkirakan lokasinya secara pasti. Perkiraan waktu secara pasti, jam, menit, detik akan terjadinya suatu bencana, sulit sekali dilakukan. Sampai saat ini belum ada metode atau teknologi yang mampu menentukan waktu bencana secara tepat.
Perkiraan waktu erupsi biasanya diperoleh dengan cara menerjemahkan perilaku gunung api yang muncul sebelum erupsi. Perilaku tersebut dapat berupa penampakan visual gunung api seperti semburan debu vulkanis, peningkatan jumlah kegempaan dan amplitudonya, suhu di sekitar puncak misalnya suhu air (jika ada), terjadinya deformasi, dsb. Perkiraan intensitas erupsi gunung api ditentukan berdasarkan perilaku gunung api dan sejarah erupsi gunung api tersebut. Perkiraan intensitas erupsi merupakan data dasar untuk menentukan radius aman kawasan bencana dan evakuasi. Erupsi Gunung api Kelud, Merapi, dan Sinabung menyadarkan kita semua akan pentingnya informasi bahaya gunung api. Kejadian tersebut tidak hanya menyisakan kisah sedih namun juga memberikan pelajaran akan kisah sukses dalam pengurangan risiko bencana serta pekerjaan rumah yang masih harus (selalu) dilakukan.
Salah satu kisah sukses perkiraan bahaya gunung api adalah perkiraan erupsi Gunung Kelud beberapa hari yang lalu. Status awas diumumkan 2 jam menjelang Gunung Kelud meletus. PVMBG sukses menerjemahkan perilaku Gunung Kelud yang kemudian dimanifestasikan ke dalam peningkatan status menjadi awas.
Keberhasilan dalam menerjemahkan perilaku gunung api tentunya memerlukan informasi karakteristik gunung api, data sejarah erupsi dan ketersediaan instrumen yang digunakan untuk mengukur perilaku gunung api. Sebagian besar gunung api bertipe A di Indonesia, seperti Gunung Kelud, sudah memiliki alat pemantau tersebut. Meskipun demikian, masih terdapat 7 korban jiwa (data BNPB 18 Februari 2014) akibat erupsi Gunung Kelud 2014.
Ternyata di balik kesuksesan perkiraan bahaya, masih ada aspek lain yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menjadikan zero korban saat terjadi bencana. Hal yang perlu dicermati adalah bahwa keempat korban tersebut berumur lebih dari 60 tahun. Sehingga salah satu pekerjaan rumah tersebut adalah memprioritaskan bantuan/evakuasi kepada elemen berisiko yang memiliki kerentanan (vulnerability) tinggi seperti orang tua, anak-anak, penyandang cacat dsb..
Gunungapi Merapi memiliki kisah sendiri saat terjadi erupsi pada tahun 2010. Tercatat setidaknya 353 orang meninggal akibat erupsi salah satu gunung api teraktif di Indonesia tersebut. Padahal, erupsi Merapi 2010 juga merupakan salah satu cerita sukses perkiraan bahaya gunung api. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meningkatkan status menjadi awas pada tanggal 25 Oktober 2010. Sehari kemudian, erupsi terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010. Setidaknya satu hari merupakan waktu yang cukup untuk melakukan evakuasi. Hanya saja pada saat itu, ada beberapa orang yang memang tidak mau dievakuasi karena yakin bahwa Gunung Merapi akan baik-baik saja. Contoh tersebut menyadarkan akan pentingnya pengetahuan tentang kebencanaan sejak dini dan pentingnya mensosialisasikan pengetahuan bencana kepada masyarakat. Sementara waktu menyingkir dan biarkan gunung api ‘menuntaskan keinginannya’.
Lain Kelud, lain Merapi, lain pula Sinabung. Sinabung memiliki cerita sendiri. Tidak seperti Kelud dan Merapi yang diklasifikasikan sebagai tipe A, Sinabung diklasifikasikan ke dalam gunung api tipe B (sebelum erupsi tahun 2010). Gunung api tipe A adalah gunung api yang tercatat sekurang-kurangnya telah mengalami erupsi setelah tahun 1600 sedangkan tipe B adalah gunung api yang tidak tercatat erupsi setelah tahun 1600 namun masih memperlihatkan kegiatan vulkanik. Implikasinya adalah gunung api tipe A biasanya dilengkapi stasiun pemantau dan instrumen pengukuran aktifitas gunungapi yang memadai, sebaliknya karena keterbatasan sumberdaya, gunungapi tipe B biasanya sangat minim akan fasilitas pemantauan. Selain itu, karena catatan erupsi yang sedikit, sulit untuk memperkirakan karakteristik dan perilaku gunungapi tipe B. Hal ini berlaku untuk Gunung Sinabung.
Penanganan Gunung Sinabung terkesan lambat dan terkesan kurang berhasil. Bahkan pemerintah mengakui salah dalam memperkirakan erupsi Gunung Sinabung 2010 (Kompas, 2010). Setelah erupsi 2010, tipe Gunung Sinabung diubah menjadi tipe A yang kemudian pada September tahun 2013 hingga awal 2014 Gunung Sinabung beraktifitas kembali. Akibat minimnya data sejarah erupsi dan anomali perilaku Sinabung, perkiraan bahaya erupsi Gunungapi Sinabung 2013-2014 juga tidak berjalan mulus. Kadang-kadang ilmu pengetahuan juga memiliki batas dalam memahami keinginan alam. Salah satu yang membuat batas itu adalah data. Hampir seluruh perkiraan bahaya (untuk semua bencana) memerlukan data historis untuk memperkirakann frekuensi dan intensitasnya di masa mendatang. Semakin minim data yang digunakan maka validitas dan reliabilitas perhitungan bahaya semakin rendah. Data inventaris bencana adalah pekerjaan rumah selanjutnya.
Ketiga kasus tersebut mengisyaratkan kompleksitas masalah bencana sekaligus memberikan pengalaman berharga terkait dengan penanganan kasus bencana di Indonesia. Masyarakat harus paham bahwa tanah tempat tinggal mereka merupakan tanah yang mewajibkan setiap manusia yang tinggal di atasnya bisa mengerti, memahami dan bersahabat dengan bencana. Sudah selayaknya kita semua terus belajar dan belajar dari pengalaman bencana yang melanda negeri dalam satu dekade ini.
Semoga dengan meningkatnya frekuensi bencana akhir-akhir ini dapat menjadikan bangsa ini lebih tangguh dalam menghadapinya.

REFERENSI :
http://berita-iptek.com/antara-kelud-merapi-dan-sinabung-sebuah-pelajaran-berharga/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar